Istilah
ini muncul tidak lepas dari perkembangan kaligrafi kontemporer, di mana
huruf bukan menjadi sesuatu yang utama, tetapi juga keindahan yang
merupakan unsur dari kaligrafi itu sendiri. Kaligrafi pada awalnya
merupakan seni memadukan huruf dengan jenis tertentu sesuai dengan
kaidah akhirnya “keluar jalur” tanpa memedulikan kaidah baku. Nah, yang
tetap mengikuti kaidah baku –sesuai dengan jenis kaligrafi “yang
diakui”– kemudian dinamai kaligrafi murni.
Seolah merupakan kaidah baku, kaligrafi murni tidak boleh keluar dari
jalur penulisan: bagaimana bentuk huruf, torehan, maupun ketepatan
dalam sapuan. Jenis-jenis kaligrafi juga telah diklasifikasi.
Penggunaannya tidak boleh bercampur satu dengan yang lain.
Kaligrafer murni “terakhir” Hasyim Muhammad Al Khattahath menerapkan
kaidah kaligrafi dalam sebuah buku panduan yang cukup terkenal bernama
Qawaidul Khath Alarabiy. Buku ini beredar luas di Timur Tengah, akhirnya
sampai di pondok pesantren di Indonesia. Tidak banyak yang memiliki,
hanya orang-orang tertentu yang mempunyai akses ke luar negeri
–khususnya Timur Tengah– yang mempunyai buku aslinya.
Di pondok pesantren, buku kaidah ini cukup terkenal. Seperti di
Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, misalnya, karya monumental
itu dicetak kembali secara internal dan di pelajari oleh para santri
yang tergabung di Aklam, Assosiasi Kaligrafer Darussalam, kelompok
belajar kaligrafi. Di Pondok Pesantren Attanwir –yang terletak di Talun,
Bojonegoro– juga ada Asskar, Assosiasi Kaligrafer Attanwir.
Banyak sekali sanggar-sanggar kaligrafi yang mengajarkan khat murni.
Namun banyak pula yang akhirnya “keluar jalur” setelah “bosan”
mempelajari kaidah-kaidah yang “kaku”. Ada juga yang “frustrasi” karena
tidak bisa menorehkan huruf-huruf dengan “benar”, akhirnya “semaunya
sendiri.”
Anda pilih ikut mana?
belajarkaligrafiislam.wordpress.com
Tweet |
No Response to ""
Posting Komentar